SoG4iGVrlm2d0xVc7TbcWuGl8F4PkcCzhtCrmamZ

Hmmmm.... ada rupanya sekolah yang tidak mengikuti Ujian Nasional.


Ilustrasi Dari Sampoerna Academy 


Gontor sendiri menyebut ujian adalah sebagai sebuah pesta, iya pesta ilmu dan pelajaran. Ajang untuk memahami dan menguasai ilmu yang sudah diberikan.

Mengenal Pendidikan  Gontor

Saat ini rame-rame bahasan akan dihapuskan ujian Nasional dengan menggunakan metode lainnya. Ada yang pro tapi ada juga yang kontra. Menarik untul disimak kelanjutannya kelak. 

Yang menarik perhatian saya adalah ketika ini ramai sedang dibahas, kang Isjet, Jurnalis lepas yang lama juga membesarkan Kompasiana. Tahun lalu rupanya ia menerbitkan buku digital mengenai sekolahnya dahulu yaitu  Darussalam Gontor yang berdiri sejak tahun 1926 dan tidak pernah mengikuti ujian Nasional. Penasaran... saya sich iya.

Gontor sendiri berpusat di Jawa Timur (hmmm, baru tau juga saya) bahasa pengajaran yang digunakan tidak tanggung-tanggung sesuai kebutuhan, Indonesia, Inggris dan bahasa Arab. 

Dari bukunya kang Isjet (demikian biasa ia disapa) saya jadi paham, filosofi di Gontor itu adalah "Ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian"

Rupanya semangat penghapusan  ujian Nasional sudah berlangsung dari tahun 2016 menteri sebelum saat ini. Tapi entah kenapa belum disetujui (halaman 13).

Mengambil pengalaman di tahun 2018, yang mengikuti ujian Nasional adalh 8.1 juta peserta didik yang berasal dari 96 ribu satuan pendidikan tingkat menengah yang ada di negara kita. Mata oelajaran yang diujikan adalah bahasa inggris dan bahasa Indonesia dan Matematika ditambah satunoelajaran khusus kejuruan. Ujian tidak berhenti disini, selesai UN maka siswa dihadapkan pada ujian berikutnya yairu USBN yang diadakan oleh masing-masing sekolah.

Mulai tahun 2018 juga era digitalisasi komputer di ujian Nasional diberlakukan menghapus penggunaan pensil 2B. Namanya pun berubah menjadi Ujian Nasional Berbasi Komputer.

Gontor sendiri menyebut ujian adalah sebagai sebuah pesta, iya pesta ilmu dan pelajaran. Ajang untuk memahami dan menguasai ilmu yang sudah diberikan.

Ada yang unik yang coba dishare kang isjet tentang Gontor ketika musim ujian tiba, pengawas dan guru jadi semakin sering berkeliling mengawasi siswa, tugas mereka bertambah menjadi semacam perpustakaan berjalan.

Sistem Penilaian Di Gontor

Penilaian mereka seperti pada umumnya diurutkan berdasarkan nilai tertinggi hingfa terendah, lalu yang tertinggi di ganung dengan teman yang memperoleh nilai serupa, begitupun yang tengah hingga nilai terendah. Tapi Gontor sendiri tidak.menganut mengenal nilai 10 atau kelas A untuk kelas unggulan. 

Artinya hasil kelulusannya sebatas pada penyebutan dan pengelompokkan nilai  seperti Mumtaz (istimewa), jayyid jidan (baik sekali), jayyid (baik), makbul (diterima), mardud (ditolak atau tidak lulus).

Bahkan untuk ujian bahasa mereka melakukan ujian wawancara, 3 guru mewawancarai muridnya. Ini sama seperti ujian oral test di Lembaga Bahasa Inggris LIA Pramuka kalau hendak kenaikan tingkat. 

Yang unik berikutnya, waktu lama atau tidaknya (durasi) ditentukan dari kemampuan menjawab si murid ataubsantri biasanya yang sebentar itu tidak dapat menjawab pertanyaan guru. Sebaliknya jika lama, semakin bisa menjawab itu murid semakin bersemangat juga gurunya bertanya dan membuktikan seberapa jauh muridnya pintar dan paham bahwa masih banyak ilmu yang belum diserap. Sebab disini murid diuji sampai dibatas kepintarannya sehingga ia merasa ia belum cukup pintar, pada akhirnya.

Ide ini digunakan  seperti mengosongkan gelas yang sudah penuh agar santri mau untuk terus belajar dan belajar lagi.

Lalu untuk menyiasati santri yang berbuat curang diwaktu ujian tertulis, Gontor menerapkan metode saru kelas diisi murid beda tingkatan. Contoh, jika saya ujian kelas 3 maka sebelah saya anak murid kelas 1 praktis soal ujian kami tidak sama. Dibelakang kami mungkin saja anak kelas 2.  Dan kalau ketahuan nyontek sangsinya tidak tanggung yaitu dikembalikan ke orang tua selama saru tahun. 

Hmmmm, serupa kejamnya sama UI (Universitas Indonesia) ketahuan nyontek berharap aja ga dikeluarin (dapat dispensasi dirumahkan, cuti semester udah hebat banget).

Cuplikan dari Bukunya Mas Isjet ttg Suasana Gontor


Karena di Gontor sendiri tidak akrab dengan pilihan ganda alhasil semua soal harus diperiksa manual masing-masing ditambah dengan tidak dituliskan nama, subyektifitas pemeriksaan lebih terjamin. Kalau bagian ini saya juga pernah mengalaminya langsung, ketika hasil presentasi mata kuliah di bilang mengecewakan, tinggal berharap ujian saja (dosennya sempat menatap saya ragu) untungnya nama tidak disertakan hanya Nomor Mahasiswa, dan beruntungnya saya lulus (dengan nilai pas pas an), dosen tadi pun sempat tercengang sebenarnya. Tapi ini manfaatnya tidak ada nama yang dicantumkan. 

Bedanya di Gontor, nama siswa dibuat dilembar terpisah dengan lembar jawaban diberikan kode tertentu dan diperlukan petugas khusus namanya itu nomerator yang memilah milah ini.

Model kurikulum yang mereka gunakan adalah KMI, Kulliyyatul Mualimin Al Islamiyyah. Metode pendidikan guru islam yang menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian dan sikap mental serta penanaman Ilmu Pengetahuan.

Rupanya di Indonesia ini tidak hanya Gontor saja yang tidak mengikuti UN setidaknya masih ada 31 Ponpes lainnya. Atau sekolah yang bukan Pondokan juga ada sebut saja Jakarta Internasional School dan Australian Internasional School tidak menerapkan UN sebab kurikulum mereka berbeda dengan kurikulum Nasional.  Tapi infonya kalau yang JIS Dan AIS ini sekolah Internasional yang diciptakan untuk kepentingan Internasional. Yang menjadi masalah kan ketika syarat mau masuk sekolah berikutnya di tanya nilai UN berapa? Nah kalau ga ikut UN agak repot menjawabnya. 

Kecuali dari tingkatan SD hingga SMA terus berafiliassi dengan sekolah yang itu-itu saja dan nanti kuliah mencari yang tidak berbasiskan UN baru mungkin bisa (menurut saya).

Seperti metode  KMI ini sudah diakui oleh Kementrian Pendidikan Mesir dan Arab alhasil lulusan Gontor dapat meneruskan pendidikan ke Universitas disana. Bahkan Malaysia juga sudah menerima lulusan Gontor untuk meneruskan pendidikan di negara mereka.

Kang Isjet sendiri menuturkan terakhir sebagai penutup, sebagai mantan alumnus Gontor, mengatakan Gontor itu ibarat smartphone merek Apple, bedanya Apple menciptakan Mac dan Iphone beserta Idevicesnya (hardware dan sofrwarenya) sementara Gontor adalah metode  KMI dengan Ponpesnya.

Bahkan untuk yang mempertanyakan kualitas kurikulum Gontor selalin sudah banyak lulusan dari sana, juga banyak negara lain yang datang belajar dan mengadopsi metode mereka.

Jadi semakin tahu dengan pendidikan yang sudah ada dan sedang berjalan di negara kita. Ramai ragamnya. 


Tentang Kang Isjet 










Related Posts
Kornelius Ginting
Orang Baik Rejekinya Juga Baik

Related Posts

Posting Komentar