SoG4iGVrlm2d0xVc7TbcWuGl8F4PkcCzhtCrmamZ

Filosofi Kopi yang bukan sekedar Filosofi



Filosofi Kopi

Kota Cirebon terbilang lengang Sabtu siang. Berbeda jauh dengan padatnya Bandung yang menjadi incaran berlibur hampir sebagain besar penduduk Jakarta dan sekitarnya.

Sementara saya mencoba keluar sejenak dari rutinitas dan pilihannya jatuh ke kota Cirebon. Kota yang dekat juga dengan pesisir laut membuat panas terik terasa di siang hari. Sebagian penduduknya meng-amini-nya demikian tapi entah kenapa Sabtu lalu begitu terik, terjawab sudah, sore hingga malam Cirebon kota diguyur hujan yang lumayan lebat. 

Ya sudah,  menikmati kota Cirebon dari sudut kamar sembari menyeruput kopi hangat sekaligus menyelesaikan membaca kumpulan cerpen Dee Lestari.


Filosofosi Kopi.

Tahun 2015 tepatnya Maret resmi buku ini sudah memasuki cetakan ke 13. Luar biasa untuk buku yang cetakan pertamanya di tahun 2012.

Buku yang memiliki tebal 135 halaman diluar testimoni dan kata pengantar. Lalu apa yang bisa diceritakan dari buku ini?

Bagi para penggiat sastra dan penikmat prosa pastinya buku Filosofi bukan sebuah hal asing lagi. Terlebih untuk Filosofi sudah dibuat versi layar lebarnya. Hehehe, sementara saya, bukunya baru sempat saya dapatkan ketika berkunjung ke Gramedia Cirebon. Dan Filmnya, sepertinya belum sempat menyaksikannya langsung. 

Menikmati sore sambil ber filosofi kopi


Filosofi Kopi sendiri bercerita tentang Sosok Jodi dan Ben yang memulai usaha kedai kopi. Kedai Kopi yang memang belum setenar saat ini. Kedai kopi yang sedang merintis untuk menemui ke”tenaran”nya.

Detil membuat kopi dipadukan dengan keegoisan si pembuat sepertinya (menurut saya) yang menjadi Film Filosofi Kopi diangkat menjadi versi layar lebar. 

Atau adalagi kisah sosok Hera yang mencari Herman. Awalnya nama Herman muncul begitu saja terilhami dari Herman Felany (aktor jaman .... “tau jaman kapan”).  Eh di akhir ceritanya dia ketemu yang namanya HERMAN, harapannya adalah HERMAN yang tidak ada embel-embel nama lainnya. Rupanya Herman yang ia temui adalah Herman Suherman. Pesan moral yang Dee bagikan “jika kamu inginnya (butuh) satu jangan pernah ambil dua, satu bagimu itu mencukupkan tetapi dua bagimu membinasakan."

Masih ada beberapa cerpennya Dee lainnya yang menarik dan prosa – prosanya yang kadang-kadang bahasanya bagi saya orang awam dengan pengetahuan ala kadarnya membuat membacanya harus berulang-ulang agar mengerti maksud yang coba disampaikan penulis.

Atau ada cerita tentang kehidupan wanita yang menjadi selingkuhan seseorang, yang Dee Lestari ibaratkan seperti “sebuah sepatu nyaman yang disimpan di bawah tangga dan dipakai hanya di dalam rumah, ketika keluar tetap ia akan memakai sepatu yang layak dan pantas yang di tunjukkan.”

Total ada 18 gabungan Prosa dan Cerpen yang Dee sampaikan.

***
Ada beberapa juga buku Dee yang saya miliki dan baca. Tapi menurut hemat saya ini adalah salah satu buku Dee yang ringan dan mudah di cerna. Meskipun ada beberapa kosakata yang “berat” tapi keseluruhan ceritanya ada dalam kehidupan sehari-hari.

Ngga percaya, coba baca kisah Rico de Coro yang mencoba membumikan bahasa cinta yang sederhana. Cinta yang tidak seharusnya memiliki, cinta yang berani mengorbankan nyawa tanpa adanya pengakuan untuk diakui cintanya. Dan Dee tampilkan dalam sosok kecoak yang sering kita lihat di sudut gelap pojokan rumah.

Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan buku Filosofi kopi ini. Sekitaran 4 jam. Sambil menunggu hujan reda dan bersiap-siap kembali untuk menikmati sekitaran Cirebon Kota.

Cirebon, Minggu Pagi  2016 





Related Posts
Kornelius Ginting
Orang Baik Rejekinya Juga Baik

Related Posts