SoG4iGVrlm2d0xVc7TbcWuGl8F4PkcCzhtCrmamZ

Ngobrolin Jalur Daendels di Ngopi Bareng Kompasiana


Sumber Group FB Writers Kompasiana

Siang itu sebuah pesan fb messengger masuk dan tampil di layar smarphone yang isinya konfirmasi, "Ok teman-teman, acara kita di kafe Sabang 16. Jl Agus Salim no 16. Dekat lampu merah yg di belakang Wisma Mandiri, ya."

Saya sendiri selalu tertarik dengan beberapa acara yang dihadirkan teman-teman komunitas kompasiana. Meskipun ga bisa dipungkiri untuk menulis di kompasiana tidak sesering 8 tahun lalu. Saat ini blog pribadi saja masih tercecer dalam rutin pengisiannya.

Tapi memamg beberapa konsep dari teman-teman kompasiana selalu menarik. Sebelum acara ngopi bareng, sempat juga ketika dalam suasana kemerdekaan, bareng teman-teman kompasiana pecinta film, melakukan marathon nobar film yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, ga tanggung-tanggunf bukan satu film tapi dua sekaligus film yang kami saksikan.  Siapa sangka juga saat itu kami menjadi saksi sejarah, hari terakhir penutupan studio XXI Taman Ismail Marzuki. 

Dan kali ini, tetap ada misi yang diusung hanya dengan konsep yang berbeda. 

Ngopi sambil Ngobrolin Jalur Daendels. 
Ngopi sebenarnya kebiasaan rutin saya semenjak kuliah. Tapi entah kenapa sampai detik ini, saya hanya menjadi penikmatnya tidak menjadi pemerhati dan mengetahui detil-detil tentang kopi itu sendiri. Selama enak dilidah, cukuplah sudah. 

Ngopi Bareng Kompasiana

Kali ini mengambil tempat disalah satu warung kopi millenial (baca : kafe), yang terletak di jalan sabang. Kalau warung kopinya millenial, biasanya menu temen kopinya banyak plus pilihan rasa kopinya juga tersedia. Berbeda dengan warung kopi kolonial (baca: warkop jadul) yang hanya menyediakan kopi seduh sachetan dan ditemani beberapa jenis gorengan, kalau kalian beruntung terkadang tersedia bubur kacang hijau juga atau bubur ayam. 

Apalagi beberapa teman blogger langsung searching yang unik di kafe sabang ini, roti srikaya  yang recomended dan kopi sidikalangnya. Dan menurut saya, hmmm, biasa aja kali ya, dibilang enak sekali juga tidak, dibilang ga enak....., enak juga. Saya sendiri hanya menyesap habis kopi sidikalang yang diberikan. Untuk cemilan roti srikaya-nya, saya meminta dari teman. Secara kalau pesen satu agak kebanyakan juga. Saya lebih suka minta sedikit-sedikit dari beberapa menu yang teman-teman pesan ketimbang pesan satu menu sendirian, selain lebih bisa merasakan berbagai macam variasinya dan tidak terlalu kenyang dan harus menghabiskan satu porsi makanan.

Masih dari sumber yang sama  Ngopi Bareng Kompasiana


Tapi terlepas soal warung kopinya itu sendiri, saya tertarik dengan topik yang di tawarkan. "Jalur Daendels". 

Ada sebuah jalur di Pantai Selatan, yang sering digunakan sebagai jalur darat transportasi. Dan entah kenapa penamanaan jalur itu sendiri masih menggunakan nama Daendels.

Daendels  adalah nama besar orang Belanda yang pernah tinggal dan menjajah negeri ini. Siapa sangka, Daendels sendiri ada 2 orang, meskipun masih ada kekerabatan mereka (ayah dan anak).

Uniknya (kalau tidak mau aneh saya sebut) mengapa penamaan jalan tersebut masih menggunakan nama Daendels. Sementara saat ini sudah 74 tahun kita merdeka. Padahal tidak dapat dipungkiri, penamaan jalur Daendels pada saat itu salah satunya untuk menghilangkan jejak-jejak perjuangan dan perlawanan Pangeran Diponegoro. 

Benar sekali, pada saat itu 1825-1830  Diponegoro melakukan perlawanan kepada Belanda. Dan bukan perlawanan yang biasa, tetapi perlawanan yang luar biasa. Bahkan ditenggarai sempat mebuat pihak Belanda kelimpungan dan bangkrut. Namun pada saat itu nasib baik belum berpihak kepada Pangeran dan teman-temannya. Perjuangan mereka mampu dikalahkan dan Pangeran sendiri ditangkap dan diasingkan. 

Nah, untuk menghilangkan kesan perjuangan dan jejak-jejak perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Dibuatlah nama jalur tadi jalur Daendels. 

Dilalanya, penamaan tersebut melekat hingga saat ini. Bisa saja ketika bangsa Belanda datang (wisata ke pulau Jawa) dan tidak sengaja menemukan nama jalan ini. Mereka teringat akan kebesaran mereka dan merasa Daendels sebagai bukti yang nyata tertinggal.

Anehnya, mengapa kita tidak merasa gelisah untuk mengganti semua peninggalan Belanda dengan nama kearifan lokal yang kita miliki sendiri. Dan biarkan nama Daendels itu sendiri menjadi kenangan dan sebuah cerita latar saja. Bukan menjadi nama dan sebuah cerita utama.

Berangkat dari sini, teman-teman komunitas diajak berfikir bersama. Bagaimana cara merubah paradigma yang ada, sederhananya merubah nama jalur yang sudah ada dan akrab dengan sebutan Daendels, menjadi sebuah nama baru. Apa kek disematkan sebagai pengganti Daendels, sebut saja Jalur Perjuangan atau Jalur Diponegoro, kalau ga setuju namakan saja Jalur Kuntilanak atau Jalur Pocong sekalian. Mengingat disana juga dulunya jalur perjuangan yang memakan banyak korban dan (anggap saja) sering muncul penampakan kuntilanak dan Pocong yang jiwanya tidak pernah tenang. Daripada harus mengingat terus kehebatan Daendels yang sudah berhasil mengalahkan perjuangan Pangeran Diponegoro dan berusaha menghapus jejak pangeran dan kawan-kawannya. 

Satu Kegelisahan Dengan Cara Pandang Dan Pikir Yang Berbeda-beda

Dan semoga kegelisahan yang dirasakan teman-teman komunitas kompasiana atas penamaan Jalur Daendels, dirasakan juga oleh pemerintah setempat.

Dan semoga juga menular ke daerah-daerah lainnya diseluruh Indonesia. Agar semua peninggalan Belanda itu sendiri hanya menjadi cerita sejarah saja. Semua peninggalan fisiknya dirubah penamaannya sesuai kearifaln lokal sekitar. Yang nantinya (semoga) akan menunjukkan identitas bangsa kita yang sebenarnya dan kita bangga akan itu. 

Related Posts
Kornelius Ginting
Orang Baik Rejekinya Juga Baik

Related Posts

Posting Komentar